Ads 468x60px

Showing posts with label APA. Show all posts
Showing posts with label APA. Show all posts

Monday, August 5, 2013

Reportase Kongres APA Ke-121 di Honolulu (Hawaii, USA) Tahun 2013 - Award Ceremony








Oleh: Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
Sabtu, 03 Agustus 2013, jam 15.00 WIH/Waktu Ini Hawaii (atau Minggu, 04 Agustus 2013 WIB/Waktu Indonesia Barat) adalah saat upacara pemberian award.
APA menyediakan shuttle bus yang beredar di antara ketiga venues (TKP)  Kongres yaitu dari Convention Center- Hilton Village - Sheraton Waikiki pp. Pagi hari biasanya kamibreakfast di Hotel Courtyard Marriot tempat kami menginap. Hotel kami ini namanya gagah, tarifnya muahaaal banget untuk ukuran Jakarta, US$ 318/malam, tetapi kamarnya hanya lebih besar sedikit dari Hotel Ibis. Padahal untuk harga tersebut di Hotel Sultan bisa dapat Presidential Suite Room. Tetapi memang dia jualan lokasi (yang strategis), bukan jualan lokalisasi. Jadi setelah makan pagi, saya hanya berjalan kaki satu blok ke Hotel Sheraton Waikiki untuk naik bis shuttle yang sudah stand by dan diberangkatkan setiap 20 menit menuju Convention Center atau Hilton.
Pagi hari Sabtu itu saya ke Convention Center dulu untuk mengikuti beberapa acara, antara lain menyaksikan film dokumenter tentang Nyoman Kereta, laki-laki Bali penderita waham kronis (bisa ngomong dengan rumput, merasakan diri kemasukan ruh dan tidak sadar, tetapi meracau), sejak sebelum menikah sampai anaknya tumbuh jadi pemuda gagah yang normal banget. Prof. Suryani, psikiater kondang dari Unud juga muncul difilm itu. Pokoknya kesimpulan film itu adalah penyakit itu sangat tergantung budaya, karena Kereta tidak dianggap penyandang skizophrenia di lingkungan masyarakat Bali. Luar biasa dan merupakan bukti nyata, betapa invalidnya DSM.
Usai menonton film itu, saya duduk-duduk sebentar di Lobby Convention Center di lantai III, makan siang bekal yang saya bawa dari Hotel sambil menyaksikan ulah para peserta kongres APA yang sangat macam-macam. Ada yang ngobrol serius dengan kawannya, ada yang sibuk menekuni lap-top masing-masing, ada yang tidur celentang memonopoli satu sofa tanpa peduli keramaian di sekitarmya, ada juga yang pacaran sambil tetap memakai name tag kongres di dadanya (yang model ini biasanya student, karena yang profesor pasti gak melakukan di situ, melainkan “cek in” dulu).
Jam 12.30 saya sudah di shuttle bus lagi, menuju Hilton village ressort hotel. Namanya saja village, tetapi hotelnya super luas dan super mewah. Acara Award ceremonydilaksanakan di Tapa Tower di ruangan T530. Ternyata itu adalah sebuah kamar suite, dengan pemandangan yang sangat indah ke lautan Pasific, yang sudah diubah menjadi sebuah ruangan pertemuan kecil.
Belum ada yang datang sewaktu saya tiba, kecuali dua orang doktor psikologi muda yang baru lulus, yang ditugasi untuk menjadi pengurus acara-acara di ruangan itu. Nampaknya alumni-alumni muda ini (doktor, loh! Bukan SPsi/BA) bisa ikut Kongres APA gratis, malah dibayar dengan menjadi petugas-petugas operasional. Mereka menemani saya sampai tamu-tamu yang lain, termasuk isteri saya,  datang.
Jam 14.45 ruangan sudah mulai penuh. AC sudah mulai tidak dingin. Jendela-jendela dibuka, mengundang udara panas dari luar, tetapi membawa angin sejuk, dari padaengap di dalam. Kursi-kursi ditambah, dan yang gak kebagian kursi duduk di karpet.
Yang hadir memang lumayan banyak, bahkan ada yang ikhlas berdiri di luar dan sesekali melongok ke dalam liwat pintu kamar yang terbuka, karena penerima award bukan saya sendiri melainkan banyak orang, termasuk psikolog senior yang mendidik banyak calon doktor non-Amerika, penulis-penulis buku/artikel tetntang psikologi internasional, sampai dengan para psikolog muda dengan early career yang hebat, dan penelitian mahasiswa S3 yang dinilai bersifat internasional. Kalau masing-masing membawa isterinya, ayah-ibunya, sahabatnya dll, bayangkan saja betapa riuh-rendahnya suasana di suite yang sekarang terasa sempit itu. Itulah sebabnya (saya baru paham) mengapa ketika ruangan masih sepi ada yang mengantar banyak sekali minuman (termasuk wine) dan kue-kue kering ke ruangan.
Saya sendiri mendapat award sebagai Outstanding International Psychologist. Isteri saya bertugas sebagai photographer. Award diberikan oleh Dr Nael Rubin, mantan Presiden Divisi 52, yang membacakan riwayat hidup saya dan alasan mengapa saya terpilih. Di antaranya dikatakannya bahwa saya pembuat sejarah dalam perkembangan psikologi di Asia, tulisan-tulisan saya di beberapa buku psikologi internasional mempengaruhi pendangan orang Amerika tentang Asia, dan saya telah menyelenggarakan Kongres Psikologi Asia pertama di Bali tahun 2006. Memang tidak salah tetapi sedikit lebay.... apalagi ketika Dr Rubin menyatakan bahwa saya bisa disebut sebagai Bapak Psikologi Asia. Waduuuh... Ciusss? Mi apa?
Wah, saya tidak menyangka sehebat itu sambutan pada saya. Dan untuk itu ada beberapa mantan Presiden Divisi 52, dan pentolan-pentolannya yang hadir, termasuk Dr Uwe Gielen (yang menerbitkan buku-buku Psikologi Internasional dengan selalu melibatkan saya untuk menulis chapter tentang Indonesia), Dr Robert Velayo (mantan Presiden APA, keturunan Philipina, yang hari itu juga menerima award sebagai International Mentor), Dr. Michael Stephen (dari universitas Illinois yang pernah saya udang ke YAI tetapi batal karena gak disetujui universitasnya.... hahaha.... kalau saya undang ke UI pasti boleh, tetapi UI mah gak ada duit untuk undang dia), Dr Tara Pir (sekarang presiden ICP) dan tentu saja Dr Mercedes Mc Cormick, Presiden Divisi 52 yang sekarang (nenek-nenek yang masih berani memakai baju yang terbuka-terbuka, dasar orang Amrik).
Setelah membacakan riwayat hidup saya, Dr Nael Rubin mengalungkan medali (mirip medali Olimpiade) berlambang Bola Dunia dan dibaliknya ada tulisan: “APA International Division, 2013 Outstanding Psycholist Award, Sarlito Wirawan Sarwono”. Kalungnya sedikit kekecilan, sehingga agak nyangkut  di kacamata saya. Resek, kan? Tetapi akhirnya lolos juga, dan saya pun diminta untuk berpidato.
Waduh!!! Pidato??? Pakai bahasa Inggris??? Apaa boleh buat. Baca Bismillah dulu, akhirnya pidato juga. Biasaaa dibumbui celetukan-celetukan iseng, yang membuat orang tertawa. Singkatnya saya beterimakasih pada Divisi 52, dan khususnya ICP yang telah membuat saya internasional. Dan lebih khusus lagi, saya berterimakasih atas kepercayaan Divisi 52 untuk Indonesia, karena walaupun hari ini saya yang mendapat award, tidak sedikit psikolog Indonesia yang juga sudah go internasional. Maka tepuk tanganpun riuh-rendah, dan sesudah itu anti klimaks. Pembacaan award dilanjutkan ke penerima-penerima lain yang makin lama makin kurang penting, seperti mahasiswa (kalau di Indonesia terbalik, makin VIP makin belakangan, sehingga ada klimaks, bukan anti klimaks).
Saya kembali ke kursi, berusaha fokus mendengar dan memperhatikan acara, tetapi mata ini gak bisa dibohongi. Kantuk ga bisa ditahan. Bolak-balik kepala terlenggut di tengah udara ruangan yang panas itu. Sampai isteri saya akhirnya udah gak tahan dan berbisik lembut ditelinga saya, “Kamu jangan tidur, donk, mas”..... hahaha.... sesdah itu memang semangat saya pulih lagi dan tidak berapa lama acarapun usai, dilanjutkan dengan acara makan minum dan ramah-tamah yang mereka namakan social hour. Yang sudah kenyang satu per satu pulang, termasuk saya dan isteri saya, mampir dulu cari makan sore, baru antri naik taksi pulang ke Courtyard Marriot.

Honolulu, 4 Agustus 2013

Reportase Kongres APA Ke-121 di Honolulu (Hawaii, USA) Tahun 2013 - DSM V



Oleh: Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono 

Hari pertama Kongres APA, habis pendaftaran ulang, langsung saya berburu Buku DSM V. Soalnya di dunia maya sudah heboh banget kontroversi tentang DSM V. Bahkan tentang DSM IV juga sudah dihebohkan, karena banhak kontroversinya. Jadi saya pengin lihat dari sumber aslinya (yang DSM IV/TR sudah lama saya punya, dan sekarang stand by di meja saya di YAI, karena di situ masih dijadikan rujukan utama buat para mahasiswa S2 profesi). Tetapi ternyata buku DSM V gak dijual di Toko buku APA di Kongres APA ke 121 di Honolulu ini. Belakangan saya tahu alasannya, yaitu APA Psikologi tidak mau menguntungkan pihak APA yang lain, yaitu APA Psikiatri, yang oleh APA Psikologi ditulis dengan ApA (huruf “p” kecil) untuk membedakannya dari yang “P” asli, yaitu “Psikologi”. Jadi saya teringat persaingan antara “Coca Cola” dan “Pepsi Cola”, yang satu haram menyebut nama yang lain. Seperti anak kecil saja.

Beruntung, hari Sabtu kemarin, saya sempat bertemu dengan Prof Frank Farley, mantan Presiden ICP yang sangaja diundang oleh Pesident ICP yang sekarang, Dr Tara Pir, di hotel Ala Moana untuk berbincang-bincang tentang masa depan psikodiagnostik. Dari ICP hanya hadir 3 orang, yaitu Dr Tara Pir sendiri, Prof. Michiko Fukuhara dari Jepang dan saya sendiri.
Dalam bincang-bincang selama 2 jam itu, Prof Farley berceritera betapa APA sudah memprotes ApA perihal DSM V. Prof Farley adalah wakil ketua Komisi yang dipentuk oleh APA untuk mempelajari DSM V. Ternyata penyusunan DSM V jauh dari metode ilmiah. Perumusannya hanya ditetapkan berdasarkan pengalaman pribadi para psikiater penyusun buku DSM V itu, yang kemudian dirundingkan di meja rapat, tanpa dasar penelitian/survey yang cermat (walaupun nama buku pedoman yang sangat sakti itu adalah “Diagnostic and Statistical Manual”).


Pengujian validitas pernah dilakukan, yaitu dengan cara meminta sejumlah psikiater untuk mendiagnosis pasien dengan menggunakan DSM V. Sejumlah pasien, masing-masing didiagnosis oleh 2 orang psikiater dan hasilnya dikorelasikan untuk membuktikan seberapa jauh DSM V itu bisa membuat para psikiater itu mendiagnosis secara tepat dan obyektif. Hasilnya mengecewakan. Hanya satu ketegori penyakit yang angka korelasinya di atas nilai minimal (0.7) yaitu “Major Neurocognitive Disorder” (0.78). Sisanya di bawah itu semua. Bahkan untuk “Antisocial Personality Disorder” atau yang biasa kita kenal sebagai “psikopat” hanya 0.22 dan untuk “Mixed Anxiety Depression Disorder” hanya 0.06 (Jack Carney, 2013, 
Mad in America, http://madinamerica.com/2013) . Jadi sama sekali gak matching. Prof. Farley mengatakan bahwa kalau untuk mendiagnosis orang psikopat dan depresi saja, psikiater tidak konsisten, buat apa jadi psikiater? Itu sama juga membohongi pasien. 

Selain itu tercatat, bahwa jumlah ketegori gangguan jiwa pada DSM berubah terus. Waktu pertama kali dipublikasikan oleh ApA tahun 1952 (versi I), hanya ada 106 jenis gangguan jiwa, pada edisi 1968 (DSM II) bertambah menjadi 185, tahun 1974 (DSM III) bertambah lagi: 265, tahun 1994 DSM IV: 365. Sebelum jadi DSM V yang sekarang, DSM IV pernah direvisi menjadi DSM IV/TR pada tahun 2000), yang jumlahnya bertambah terus. Apa dasar untuk menambah dan juga mengurangi, tidak ada alasan yang jelas. Spekulasi yang berkembang adalah adanya unsur politk dalam penentuan penyakit-penyakit jiwa, misalnya ketika 
gay dihapus dari DSM III 1974, banyak pengurus ApA yang gay.

Lebih “gila” lagi, perusahaan-perusahaan asuransi di Amerika tidak mau mengikuti DSM (ApA), maupun ICD (WHO), yang menurut mereka terlalu banyak faktor sosial yang tidak terukur. Karena itu mereka mau membentuk NIMH (National Institute of Mental Health) yang akan menyusun sistem ketegorinya sendiri untuk keperluan asuransi. Intinya, buku pedoman Diagnosis itu harus bersifat biologis, terukur dan bisa dibuktikan dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Di luar itu tidak akan dibayar oleh asuransi. Ini gila sekali, kata Prof. Farley. Bagaimana misalnya PTSD harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan Lab? Memangnya penyakit kencing manis? (lengkapnya silakan lihat: Frank Farley, Reboot Diagnosis: DSM-5 Goes Live, Nascent Movement arises, http://www.psychologytoday.com/blog/the-peoples-professor/201212. Karena itu, APA sudah mengirim surat resmi kepada ApA untuk meminta agar DSM V diuji dulu oleh sebuah Komisi independen (ikut-ikutan Indonesia, dikit-dikit Komisi ini, Komisi itu). Surat itu dijawab oleh ApA dengan ”Thanks, and NO thanks”. Artinya: buat ApA DSM V saat ini sudah final. 

Menyadari bahayanya penggunaan DSM V yang tidak ilmah itu, maka APA membuka sebuah website: www.dxsummit.org untuk para psikolog atau profesi mental health apa saja bisa memasukkan pendapatnya tentang psikodiagnosis ini secara on-line. Melalui website yang bersifat global ini diharapkan bisa diperoleh gambaran tentang sistem psikodiagnosis (hanya diagnosis, tidak termasuk terapi dll) yang terbaik untuk gangguan jiwa. Sekarang memang belum ada gambaran, jadinya bentuk kategorisasi gangguan jiwa versi psikologi itu seperti apa, tetapi minimal kita cari dulu formatnya dari pengalaman para pakar dan awam di lapangan. Sejauh ini melalui website itu sudah terkumpul 14.000 penanda tangan anti DSM V dan dukungan dari 53 organisasi-organisasi yang menentang DSM V. Anehnya, ApA sama sekali diam seribu bahasa. Kecurigaan APA adalah adanya keterlibatan pabrik-pabrik farmasi yang ingin mengambil keuntungan dibalik kerja-kerja DSM ini.

Last but not least, Frank Farley heran, ketika saya beritahu bahwa Indonesia punya DSM sendiri, yang dikenal sebagai PPDGJ. Bagus sekali, katanya, harusnya memang setiap negara punya pedomannya sendiri. Tetapi dia lebih heran lagi, ketika saya beritahukan bahwa di Indonesia para psikolog (termasuk di Psikologi UPI/YAI) lebih suka menggunakan DSM IV/TR sebagai rujukan... hahaha.... 



Honolulu, 4 Agustus 2013