Ads 468x60px

Monday, August 5, 2013

Reportase Kongres APA Ke-121 di Honolulu (Hawaii, USA) Tahun 2013 - DSM V



Oleh: Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono 

Hari pertama Kongres APA, habis pendaftaran ulang, langsung saya berburu Buku DSM V. Soalnya di dunia maya sudah heboh banget kontroversi tentang DSM V. Bahkan tentang DSM IV juga sudah dihebohkan, karena banhak kontroversinya. Jadi saya pengin lihat dari sumber aslinya (yang DSM IV/TR sudah lama saya punya, dan sekarang stand by di meja saya di YAI, karena di situ masih dijadikan rujukan utama buat para mahasiswa S2 profesi). Tetapi ternyata buku DSM V gak dijual di Toko buku APA di Kongres APA ke 121 di Honolulu ini. Belakangan saya tahu alasannya, yaitu APA Psikologi tidak mau menguntungkan pihak APA yang lain, yaitu APA Psikiatri, yang oleh APA Psikologi ditulis dengan ApA (huruf “p” kecil) untuk membedakannya dari yang “P” asli, yaitu “Psikologi”. Jadi saya teringat persaingan antara “Coca Cola” dan “Pepsi Cola”, yang satu haram menyebut nama yang lain. Seperti anak kecil saja.

Beruntung, hari Sabtu kemarin, saya sempat bertemu dengan Prof Frank Farley, mantan Presiden ICP yang sangaja diundang oleh Pesident ICP yang sekarang, Dr Tara Pir, di hotel Ala Moana untuk berbincang-bincang tentang masa depan psikodiagnostik. Dari ICP hanya hadir 3 orang, yaitu Dr Tara Pir sendiri, Prof. Michiko Fukuhara dari Jepang dan saya sendiri.
Dalam bincang-bincang selama 2 jam itu, Prof Farley berceritera betapa APA sudah memprotes ApA perihal DSM V. Prof Farley adalah wakil ketua Komisi yang dipentuk oleh APA untuk mempelajari DSM V. Ternyata penyusunan DSM V jauh dari metode ilmiah. Perumusannya hanya ditetapkan berdasarkan pengalaman pribadi para psikiater penyusun buku DSM V itu, yang kemudian dirundingkan di meja rapat, tanpa dasar penelitian/survey yang cermat (walaupun nama buku pedoman yang sangat sakti itu adalah “Diagnostic and Statistical Manual”).


Pengujian validitas pernah dilakukan, yaitu dengan cara meminta sejumlah psikiater untuk mendiagnosis pasien dengan menggunakan DSM V. Sejumlah pasien, masing-masing didiagnosis oleh 2 orang psikiater dan hasilnya dikorelasikan untuk membuktikan seberapa jauh DSM V itu bisa membuat para psikiater itu mendiagnosis secara tepat dan obyektif. Hasilnya mengecewakan. Hanya satu ketegori penyakit yang angka korelasinya di atas nilai minimal (0.7) yaitu “Major Neurocognitive Disorder” (0.78). Sisanya di bawah itu semua. Bahkan untuk “Antisocial Personality Disorder” atau yang biasa kita kenal sebagai “psikopat” hanya 0.22 dan untuk “Mixed Anxiety Depression Disorder” hanya 0.06 (Jack Carney, 2013, 
Mad in America, http://madinamerica.com/2013) . Jadi sama sekali gak matching. Prof. Farley mengatakan bahwa kalau untuk mendiagnosis orang psikopat dan depresi saja, psikiater tidak konsisten, buat apa jadi psikiater? Itu sama juga membohongi pasien. 

Selain itu tercatat, bahwa jumlah ketegori gangguan jiwa pada DSM berubah terus. Waktu pertama kali dipublikasikan oleh ApA tahun 1952 (versi I), hanya ada 106 jenis gangguan jiwa, pada edisi 1968 (DSM II) bertambah menjadi 185, tahun 1974 (DSM III) bertambah lagi: 265, tahun 1994 DSM IV: 365. Sebelum jadi DSM V yang sekarang, DSM IV pernah direvisi menjadi DSM IV/TR pada tahun 2000), yang jumlahnya bertambah terus. Apa dasar untuk menambah dan juga mengurangi, tidak ada alasan yang jelas. Spekulasi yang berkembang adalah adanya unsur politk dalam penentuan penyakit-penyakit jiwa, misalnya ketika 
gay dihapus dari DSM III 1974, banyak pengurus ApA yang gay.

Lebih “gila” lagi, perusahaan-perusahaan asuransi di Amerika tidak mau mengikuti DSM (ApA), maupun ICD (WHO), yang menurut mereka terlalu banyak faktor sosial yang tidak terukur. Karena itu mereka mau membentuk NIMH (National Institute of Mental Health) yang akan menyusun sistem ketegorinya sendiri untuk keperluan asuransi. Intinya, buku pedoman Diagnosis itu harus bersifat biologis, terukur dan bisa dibuktikan dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Di luar itu tidak akan dibayar oleh asuransi. Ini gila sekali, kata Prof. Farley. Bagaimana misalnya PTSD harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan Lab? Memangnya penyakit kencing manis? (lengkapnya silakan lihat: Frank Farley, Reboot Diagnosis: DSM-5 Goes Live, Nascent Movement arises, http://www.psychologytoday.com/blog/the-peoples-professor/201212. Karena itu, APA sudah mengirim surat resmi kepada ApA untuk meminta agar DSM V diuji dulu oleh sebuah Komisi independen (ikut-ikutan Indonesia, dikit-dikit Komisi ini, Komisi itu). Surat itu dijawab oleh ApA dengan ”Thanks, and NO thanks”. Artinya: buat ApA DSM V saat ini sudah final. 

Menyadari bahayanya penggunaan DSM V yang tidak ilmah itu, maka APA membuka sebuah website: www.dxsummit.org untuk para psikolog atau profesi mental health apa saja bisa memasukkan pendapatnya tentang psikodiagnosis ini secara on-line. Melalui website yang bersifat global ini diharapkan bisa diperoleh gambaran tentang sistem psikodiagnosis (hanya diagnosis, tidak termasuk terapi dll) yang terbaik untuk gangguan jiwa. Sekarang memang belum ada gambaran, jadinya bentuk kategorisasi gangguan jiwa versi psikologi itu seperti apa, tetapi minimal kita cari dulu formatnya dari pengalaman para pakar dan awam di lapangan. Sejauh ini melalui website itu sudah terkumpul 14.000 penanda tangan anti DSM V dan dukungan dari 53 organisasi-organisasi yang menentang DSM V. Anehnya, ApA sama sekali diam seribu bahasa. Kecurigaan APA adalah adanya keterlibatan pabrik-pabrik farmasi yang ingin mengambil keuntungan dibalik kerja-kerja DSM ini.

Last but not least, Frank Farley heran, ketika saya beritahu bahwa Indonesia punya DSM sendiri, yang dikenal sebagai PPDGJ. Bagus sekali, katanya, harusnya memang setiap negara punya pedomannya sendiri. Tetapi dia lebih heran lagi, ketika saya beritahukan bahwa di Indonesia para psikolog (termasuk di Psikologi UPI/YAI) lebih suka menggunakan DSM IV/TR sebagai rujukan... hahaha.... 



Honolulu, 4 Agustus 2013