Ads 468x60px

Showing posts with label Australia. Show all posts
Showing posts with label Australia. Show all posts

Thursday, September 5, 2013

Strategi Belajar di Australia: Jangan Takut Salah



Foto: www.radioaustralia.net.au
Di situs Study in Australia, situs online yang memberi informasi tentang pendidikan di Australia, disebutkan 10 alasan mengapa memilih melanjutkan studi di Australia. Salah satunya adalah sistem universitasnya yang berada di peringkat 8 di dunia, di depan Inggris,Jerman, Jepang, dan  Belanda.

Tidak hanya itu, Australia juga merupakan negara tujuan paling populer ketiga untuk mahasiswa internasional. Bagus Nugroho, Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) di Melbourne, sudah tinggal dan berkuliah di Australia selama 10 tahun, dan saat ini menduduki posisi sebagai mahasiswa program doktoral dalam bidang Mechanical Engineering di University of Melbourne.

Ditanya tentang sistem pendidikan di Australia, Bagus membandingan dirinya dengan teman-temannya di Indonesia pada tahun pertama kuliah. Dia mengatakan, di Indonesia banyak mata kuliah yang tidak umum  seperti PPKN, bahasa dan agama, yang tidak diajarkan di Australia. Bagus juga menambahkan bahwa di tugas kuliah di Australia menuntut mahasiswa untuk banyak bekerja sama dengan sesama mahasiswa lain, dan didorongnya unsur praktek dan kreativitas yang merupakan keuntungan, tapi juga bisa menjadi tantangan bagi yang tidak terbiasa.

“Banyak  adik-adik kelas saya, dan murid-murid saya yang gak berani ngomong. Takut salah jadinya ga berani ngomong ke tutornya”

Hal ini yang menurut Bagus menjadi satu PR  yang harus dipersiapkan pelajar Indonesia sebelum melanjutkan studi di Australia. Menurutnya, sifat sangat pemalu dan tidak berani bertanya dan berpendapat akan menjadi bumerang untuk mereka yang ingin studi di luar negeri.

“Jangan bawa kebiasaan dari Indonesia...harus lebih aktif..berani memberikan opini. Salah gak masalah. Kekurangan kita itu takut salah. Gak mau ngomong karena takut salah, padahal meskipun kalau salah tutornya gak masalah sama sekali”

Sedangkan Steven, mahasiswa Indonesia yang sudah pernah tinggal dan bekerja di Singapura dan kini telah mengalami satu tahun kuliah di Australia, mengatakan budaya pendidikan di Australia memiliki suasana informal.

“Saya merasa Singapura dari segi pendidikan bagus, tapi ada perbedaan di mana di Singapura itu lebih ke top-down..di Australia, lebih interaktif antara dosen dan mahasiswanya.”

“Dari segi hubungan dengan dosen, kita bisa langsung kapan saja datang mengetuk ke ruangan dosen untuk berkonsultasi. Mereka tidak terlalu formal, kita tidak perlu menggunakan embel-embel titel,” katanya.

Untuk mendapat informasi mengenai kuliah di Australia, pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan studi di Australia, bisa mengunjungi situs http://www.studyinaustralia.gov.au/

Sumber:  www.radioaustralia.net.au (21 Juni 2013)

Mahasiswa Australia Makin Miskin



Foto: www.radioaustralia.net.au
Riset terbaru menunjukan dua pertiga mahasiswa Australia hidup di bawah garis kemiskinan dan kesulitan keuangan semakin meningkat.

Riset ini mendata lebih dari 12.000 responden mahasiswa  program sarjana dan pascasarjana di universitas-universitas di Australia.

21 persen responden mengaku memiliki pendapatan kurang dari $10,000, dan sebagian besar  yakni sekitar 40.3 persen berpendapatan $10,000 dan $19,000.

Sedangkan pendapatan tahunan rata-rata adalah $18.634 untuk mahasiswa program studi sarjana.
Laporan ini juga menemukan kalau 1 dari 5 mahasiswa kerap tidak makan, angka ini meningkat dari temuan tahun 2006 lalu yang hanya 1 dari 8 mahasiswa yang tidak makan.

Riset ini juga menemukan setengah dari mahasiswa yang disurvey mengaku mendapat dukungan keuangan dari keluarganya untuk bisa terus melanjutkan studi.

Sementara itu dua pertiga mahasiswa sarjana mengaku khawatir dengan situsai keuangan mereka. Kesulitan keuangan ini lebih besar dialami mahasiswa pribumi dibandingkan mahasiswa berlatar belakang sosial ekonomi rendah.

"Laporan ini jelas menunjukan kalau kesulitan keuangan dikalangan pelajar mahasiswa di Australia meningkat,” Kata Kepala Universitas Australia Belinda Robinson dalam pernyataannya.

"Dampak temuan ini terhadap tingkat berhenti kuliah atau DO maupun tingkat pendaftaran di universitas masih belum diketahui, namun yang pasti masalah ini tetap mendesak untuk dicermati." katanya.

Kepala Badan Pelayanan Sosial Australia (ACOSS), Cassandra Goldie, mengatakan pembayaran tunjangan anak-anak muda dari pemerintah saat ini tidak mencukupi lagi.

"Salah satu alasan utama terkait tunjangan bagi pemuda yang banyak diandalkan mahasiswa saat ini adalah besarannya hanya $29 per hari,” kata Dr Goldie.

"Seperti halnya pembayaran tunjangan bagi pengangguran,  besaran tunjangan itu sudah lebih dari dua dekade tidak mengalami peningkatan. Jadi jelas saja tunjangan itu sudah tidak cukup lagi,” tegasnya.
"Kita mendesak agar pemerintah menaikan tunjangan untuk mahasiswa ini.” ucap Goldie.

Sistem rusak

Dr. Goldie mengatakan sistem pendidikan di Australia dirancang untuk mahasiswa yang tinggal di rumah dan dibiayai oleh orang tua atau penjaminnya. Dan ini tidak mencerminkan kondisi kebanyakan mahasiswa atau pelajar di Australia saat ini.

"Jika dua pertiga dari mahasiswa hidup dibawah garis kemiskinan, maka bisa dipastikan sistem pendidikanya tidak benar,” katanya.

"Kita perlu sistem pendidikan yang dewasa yang memungkinkan mahasiswa bisa mendapat pendidikan yang lebih baik dan tidak perlu hidup miskin untuk menjalani pendidikan  seperti sekarang ini.”

Serikat Mahasiswa sebelumnya mendesak agar usia seseorang dibolehkan tinggal sendiri direndahkan dari 22 tahun menjadi 18 tahun untuk meningkatkan jumlah orang yang bisa mendapatkan dukungan pendanaan. Tapi Goldie  mengatakan desakan itu bukan perbaikan cepat untuk mengatasi tingginya tingkat kemiskinan.

"Pemerintah banyak berbicara soal bagaimana Australia bisa  memiliki sistem pendidikan kelas dunia, yang artinya harus juga melindungi hak pelajar untuk bisa melewati sistem pendidikan  tersebut,” katanya.

ACOSS mengatakan ketersediaan tempat tinggal yang terjangkau merupakan alasan lain yang mempengaruhi kemiskinan dikalangan pelajar.

Menurut Goldie anak-anak muda perlu hidup dalam kondisi stabil dan nyaman agar bisa menyelesaikan pendidikannya. Tapi saat ini kebanyakan mahasiswa hidup di rumah tinggal di bawah standar yang sulit untuk tidur nyenyak di malam hari dan belajar dengan baik.

Sumber:  www.radioaustralia.net.au (15 Juli 2013)

Australia Negara Termahal Bagi Pelajar Internasional



Foto: www.radioaustralia.net.au
Australia kini merupakan negara paling mahal bagi para pelajar internasional dengan rata-rata pengeluaran 38 ribu dollar setahun setara sekitar 380 juta rupiah.

Menurut data Bank BHSC, pengeluaran tahunan pelajar internasional di Australia ini lebih tinggi dibanding di Amerika Serikat yang hanya 35 ribu dollar, dan  Inggris sekitar 30 ribu dollar. Pengeluaran ini mencakup biaya hidup dan sekolah.

Namun, beban keuangan yang lebih tinggi itu agaknya tidak meredam minat siswa untuk belajar di Australia. Negara ini tetap merupakan salah satu negara paling populer bagi para siswa internasional, dengan sekitar 400 ribu pelajar internasional.

Banyak pelajar internasional mendapat tekanan orangtua yang luar biasa, karena orangtua menanggung beban keuangan.

Seorang siswa tata boga komersial, Neal Wang, yang belajar di William Angliss College di Melbourne mengatakan, ia beruntung orangtuanya di China menaggung biaya sekolah dan pemondokannya, tapi dengan pengorbanan. "Orangtua saya menjual sebuah rumah agar dapat mengirim saya ke Australia," katanya kepada ABC.

Pakar ekonomi memperkirakan merosotnya nilai dollar Australia akan membantu mengurangi biaya pendidikan bagi warga asing, sementara HSBC mengatakan adanya kemungkinan nilai dollar turun sebanyak 0,86 dollar dalam caturwulan keempat di tahun 2013.

Para pelajar internasional diizinkan bekerja sebanyak 20 jam seminggu untuk membantu menunjang biaya hidup dan sekolah mereka. Namun beberapa pelajar mengatakan mereka terpaksa bekerja cash-in-hand - atau dibayar kontan, untuk memperbesar pendapatan mereka.

Lain halnya dengan pelajar asal Indonesia, Vebrina Hadi (25), dimana orangtuanya membiayai sekolah, pemondokan dan uang sakunya. Tapi Vebrina mengatakan, bahwa ia merasa malu masih menerima bantuan keuangan dari keluarga.

Orangtua Vebrina di Indonesia membayar uang sekolah putrinya 9.700 dollar per semester dan patungan membayar biaya sewa apartemen sebulannya sebesar 1.500 dollar dengan pelajar lainnya.

Sebelumnya di Indonesia Vebrina telah menyandang gelar sarjana Ilmu Komunikasi, tapi di Australia ia mengejar mimpinya untuk dapat bekerja di sebuah restoran.

Sumber:  www.radioaustralia.net.au (20 Agustus 2013)

Gaji Pekerja Perempuan Lebih Murah Dibandingkan Laki-Laki di Australia



Foto: www.radioaustralia.net.au
Hasil Survery Lingkungan Kerja terbaru menunjukan jurang perbedaan gaji antara karyawan laki-laki dan perempuan di Australia terus membesar bahkan lebih tajam dibandingkan 20 tahun lalu.

Studi yang dilakukan oleh Badan Kesetaraan Gender di Lingkungan Kerja  (WGEA) menemukan total selisih gaji yang diperoleh karyawan laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan penuh waktu setiap minggunya mencapai AUS$266.

Dr. Carla Harris dari WGEA mengatakan selisih pendapatan ini lebih besar dari figur yang terjadi 20 tahun lalu dan menunjukan kecenderungan terus meningkat.

"Faktanya selisih itu terus meningkat sejak tahun 2004, dari hanya 15% pada tahun 2004,  kini selisihnya mencapai 17,5 % pada tahun lalu,” ujar Carla merinci hasil survey lembaganya.

Dengan posisi ini, rata-rata perempuan yang bekerja penuh waktu mendapat upah 82 sen, sedangkan pada posisi sama laki-laki mendapat upah 1 dolar. Kalkulasi WGEA juga menggambarkan rata-rata perempuan harus bekerja 64 hari lebih banyak dalam setahun dibandingkan pekerja laki-laki untuk mendapat penghasilan yang sama.

Selama 1 tahun atau 12 bulan, total selisih pendapatan pekerja perempuan dibandingkan laki-laki  hampir mencapai $14.000 selama karir kerja, atau sekitar $1juta berdasarkan perhitungan serikat pekerja.

Perbedaan dialami pekerja wanita di semua level pendidikan
Riset yang dilakukan tahun lalu ini juga menunjukan jurang perbedaan pendapatan di kalangan pekerja perempuan lulusan universitas pada tahun lalu bahkan mencapai dua kali lipat  dengan rentang selisih dari $2000 hingga $5000.

Ketua Dewan Usaha Kecil Amanda Lynch mengatakan figur ini menunjukan perempuan lebih sulit memperoleh pekerjaan bagi lulusan universitas. Terutama di bidang pekerjaan yang biasa didominasi laki-laki, sehingga mereka biasanya terpaksa menerima saja upah yang ditawarkan kepada mereka.

"Ini cukup menarik, karena ketika Anda berbicara dengan para pengusaha, mereka sering tidak menganggap itu sebagai masalah,” kata Lynch.

"Mereka bilang mereka tidak membeda-bedakan karyawan, dan tidak bias gender. Tapi statistik terus menunjukan cerita berbeda. Jadi kita percaya kalau ada jurang perbedaan upah antar gender yang tidak disadari oleh pengusaha,” jelasnya.

Diperlukan aturan baru
Mulai tahun depan, pelaku bisnis yang memiliki karyawan 100 orang lebih harus melaporkan tingkat upah  yang mereka bayarkan berdasarkan jenis kelamin karyawan dan strategi apa yang akan diterapkan untuk mengatasi jurang pendapatan karyawan perempuan dan laki-laki di perusahaan mereka.

Dr. Carla Harris mengatakan persyaratan baru ini akan bisa mengatasi kondisi ini.
“Kebanyakan para pengusaha bersikap tertutup soal siapa yang membayar apa dan siapa melakukan apa serta bagaimana bias tertentu terjadi di bagian SDM dalam praktek perekrutan pekerjaan,” tuturnya.

"Dengan mewajibkan organisasi  dan pelaku usaha melaporkan informasi tersebut dapat mendorong akuntabilitas. Dan saya pikir itu upaya itu akan sesuai dengan perubahan kesetaraan upah gender yang sedang diupayakan ini.”

Dr. Harris  mengatakan kebijakan baru ini akan ditaati oleh pelaku usaha.
"Para pekerja akan segera menerapkan aturan ini jika pengusaha memerintahkan bawahannya untuk menerapkan sistem ini,“ tuturnya.

"Saya kira sistem ini akan membantu mereka yang tidak secara khusus tertarik melakukan apapun, mengingat karyawan mereka tidak akan keberatan.”

Persyaratan pelaporan upah ini akan diberlakukan kepada semua pelaku usaha-non pemerintah dengan jumlah pekerja 100 orang atau lebih.

Sumber:  www.radioaustralia.net.au (3 September 2013)