Salah satu fenomena sosial yang cukup menarik di kota tempat saya melanjutkan studi di Australia yaitu kota Darwin, adalah keberadaan penduduk asli Australia (Aborigin) yang relatif banyak di tengah-tengah masyarakat kulit putih. Dikatakan banyak karena dibandingkan dengan kota-kota besar Australia lainnya seperti Melbourne dan Sydney (hanya baru dua kota lain ini yang pernah penulis kunjungi), sangat jarang ditemui orang Aborigin yang “berseliweran” di depan kita. Namun di Darwin, setiap saat mereka selalu ditemui di jalan, di sekitar rumah (bahkan hidup bertetangga), di dalam bus, di mal dan di area publik lainnya. Mungkin karena temperatur kota Darwin yang tergolong panas sesuai habitat mereka dan lokasi kota Darwin yang memang tidak jauh dengan kantong-kantong pemukiman penduduk asli Aborigin di Utara Australia atau Northern Territory. Dalam terminologi lain, orang Aborigin disebut juga dengan Indigenous People. Ketika pertama kali menetap di Darwin tahun lalu, seorang teman menganjurkan saya untuk menggunakan istilah ABG (bukan Anak Baru Gede) sebagai pengganti kata “Aborigin” untuk menghindari mereka tahu kalau kita sedang memperbincangkan mereka. Istilah ABG juga akan saya gunakan dalam tulisan ini.
Kesan pertama saya terhadap ABG adalah kebiasaan mereka yang selalu pergi bergerombol kemana-mana, berbicara dengan suara keras, berpenampilan lusuh dan kotor (kadang-kadang tidak memakai alas kaki), berbadan bau, malas bekerja (mengandalkan hidup dari tunjangan pemerintah) dan seringkali tampak dalam keadaan mabuk. Tidak jarang mereka ditolak untuk naik bus umum oleh supir bus karena terlihat dalam keadaan mabuk, atau bahkan diusir keluar bus karena dianggap mengganggu ketentraman penumpang lain sehubungan dengan “ceracauan” mereka dengan suara keras di dalam bus. Jika mereka naik bus umum, biasanya mereka duduk di area belakang bus. Kebanyakan penumpang lain lebih memilih kursi kosong di bagian depan bus. Ketika bus sedang banyak penumpang biasanya kursi kosong yang tersisa adalah di bagian belakang bus di antara penumpang ABG. Kita tinggal memilih, mau duduk di antara orang ABG dengan ‘bau badan’nya yang agak mengganggu atau berdiri di dalam bus. Orang ABG yang mabuk dan tergeletak tidur di area umum seperti terminal bus atau di pinggir jalan, juga sering kita temui. Mereka seolah menjadi kaum marginal di”rumah”nya sendiri. Dengan pemandangan seperti ini yang sering saya temui, tentu saja kesan yang terbentuk adalah kesan negatif tentang mereka. Terus terang, awalnya saya pun merasa agak takut berada di dekat mereka. Tetapi, terbersit juga pertanyaan di dalam benak, apakah mereka seburuk itu? Apalagi jika saya membandingkan karakteristik ABG di jalan-jalan yang sering saya temui dengan hasil karya seni Aborigin yang dipamerkan di Art Gallery dan Museum di Darwin yang sangat indah. Saya bertanya dalam hati, bagaimana mungkin suatu hasil karya yang teramat halus dan indah, bisa dihasilkan oleh orang ABG yang memiliki karakteristik negatif yang terkesan oleh saya (karena selalu terpapar oleh gambaran orang ABG sehari-hari yang saya temui)? Pastilah hasil karya seni itu dihasilkan orang-orang yang sangat halus perasaaannya dan sangat tekun karena membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang luar biasa untuk menyelesaikannya.
Terjebak dalam stereotype etnis yang biasanya berisi karakteristik negatif bukanlah hal yang baik, bahkan berbahaya. Tak jarang pertikaian antar etnis di berbagai belahan dunia dipicu oleh hal ini, dan tentu saja kerugian nyawa menjadi bayarannya. Untungnya, meski kesan negatif tentang orang ABG terlanjur terbentuk di benak saya, saya kemudian mendapat penyeimbang informasi yang luar biasa yang kemudian mengubah kesan saya tentang mereka dan berniat untuk mengenal mereka lebih jauh. Salah satunya adalah cerita dari anak remaja perempuan saya (kelas 3 SMA) yang pulang sendiri dari suatu acara pada malam hari (sekitar jam 8 malam) dan menunggu bus di halte. Darwin adalah kota yang sepi apalagi pada malam hari. Di halte itu, sudah ada seorang perempuan ABG yang juga sedang menunggu bus. Semula anak saya agak takut mendekat ke halte karena anak saya menduga ibu itu mabuk, namun ibu ABG itu mengajaknya mendekat. Ibu ABG itu menasehati anak saya untuk berhati-hati pergi di malam hari. Ketika di seberang jalan ada sekelompok pemuda melintas, tiba-tiba ibu ABG itu merangkul anak saya dan mengatakan dia akan melindungi anak saya dari orang jahat. Anak saya yang semula merasa takut dengan ibu itu, menjadi tenang sampai kemudian bus datang dan mereka berdua menaiki bus yang sama. Ibu ABG itu turun lebih dulu sambil berpesan dengan suara keras kepada supir untuk menjaga anak saya. Cerita lainnya adalah ketika naik bus umum dan cukup banyak penumpang berdiri, seorang ABG tidak sengaja menyentuh kulit tangan anak saya. Entah merasa bahwa dirinya kotor atau merasa orang lain takut berdekatan dengan ABG, bapak ABG itu berkali-kali meminta maaf kepada anak saya.
Cerita lain yang paling mengesankan dan paling berpengaruh terhadap diri saya tentang bagaimana kita memahami ABG, saya peroleh dari seorang kenalan saya: seorang Australia, berkulit putih, telah berpuluh tahun menjadi peneliti indigenous people, dan lokasi ruang kerjanya tak jauh dari ruang kerja saya. Sebut saja namanya Peter (bukan nama sebenarnya). Biasanya saya hanya sekedar bertegur sapa “apa kabar” dengannya jika bertemu di ruang makan. Saya juga tidak tahu secara tepat apa yang dikerjakannya dalam proyeknya. Tetapi suatu hari, saya lama tidak bertemu dengannya dan menanyakan kemana saja dan apa saja yang dikerjakannya. Dia pun serta merta mengundang saya ke ruang kerjanya dan menunjukkan kepada saya peta lokasi proyeknya yang berjarak 15 jam perjalanan mobil dari kota Darwin! Dia menceritakan bahwa istrinya mengajar di salah satu sekolah independen untuk ABG. Dengan polosnya, saya bertanya kepadanya: “ Apakah susah mengajar orang ABG?” Saya terperangah oleh jawaban dan ekspresi wajahnya “It is more difficult to make the Austalian people understand them!”. Lebih lanjut, dia menceritakan bahwa orang ABG adalah orang yang traditional sekaligus paling modern di dunia ini. Saya pun semakin menjadi terbingung-bingung karena ketidakmengertian saya. Dia menjelaskan bahwa orang ABG adalah orang yang berperasaan sangat halus, mereka hidup dalam “kecukupan” dalam arti mereka hidup secukupnya sesuai dengan kebutuhan dirinya dan sangat menjaga “relationship” dengan alam. Mereka tidak mengeksploitasi alam yang banyak dilakukan oleh orang-orang masa kini yang menganggap hidupnya modern. Padahal, lanjutnya lagi - yang namanya modern haruslah berarti menjaga keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Itulah alasannya mengapa dia berpendapat tentang “tradisional sekaligus modern”.
Dengan nada haru dia juga menjelaskan kepada saya sambil berlinang air mata dan memegang tengah dadanya (dan saya pun ikut-ikutan merasakan ada rembesan air mata di pelupuk mata saya): “Orang ABG itu adalah orang-orang yang merasakan ‘pedih’ di dalam hatinya, karena mereka seperti pohon yang tercabut dari akarnya!”. Mereka tidak bisa dipindahkan begitu saja untuk hidup di tempat baru karena mereka tidak punya “relationship” dengan alam di tempat barunya. Tentang apa dan bagaimana Peter mengajar mereka, lebih lanjut ia menjelaskan bagaimana dia mengajarkan orang ABG dengan metaphora. Dia memberi saya salah satu contoh: ketika pembuatan jalan dengan menggunakan aspal masuk ke daerah rural, lebah yang hidup di lokasi tersebut menganggap aspal yang memiliki karakteristik mirip dengan madu akan mencobanya. Tetapi ketika dicoba ternyata bukan madu dan tidak sesuai dengan kebutuhan dirinya. Melalui metaphora ini, Peter mengajar orang ABG di daerah rural untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi bombardir budaya orang kulit putih dan bisa memilih mana yang baik dan sesuai dengan kebutuhan dirinya. Ooh Peter…, dia seorang kulit putih! Betapa saya merasa salut kepadanya tentang apa yang sudah dilakukannya selama berpuluh tahun!
Percakapan dengan Peter diselingi dengan diperkenalkannya saya dengan dua wanita ABG yang datang ke ruangannya. Mereka bertiga berbicara dengan bahasa lain yang tidak saya mengerti (bukan berbahasa Inggris). Saya pun berkomentar. Apakah kamu berbicara dengan bahasa Aborigin? Sambil tersenyum, Peter menjawab: “No, it is not Aboriginal language, it is Australian language.”
Orang-orang ABG dengan pola hidup yang sering saya temui di kota Darwin hanya memberikan salah satu gambaran tentang sebagian orang ABG yang frustrasi dan tidak bisa memilah tentang apa yang baik dan sesuai untuk mereka ketika terpapar dengan budaya lain yang berbeda. Mengajak mereka untuk mengikuti gaya hidup yang dianggap modern oleh orang kulit putih sama seperti mencabut mereka dari akar budayanya, demikian ungkapan Peter. Nun di belahan Australia lain yang belum saya lihat, tentu banyak sekali orang ABG dengan kualitas diri yang sangat positif.
Pertemuan setengah jam dengan Peter telah mengubah persepsi saya tentang ABG dan memberikan saya keluasan pandangan. Benar kata pepatah, “ Tak Kenal Maka Tak Sayang”. Terjebak dalam streotype etnis apalagi yang negatif seringkali dikarenakan informasi yang hanya sepenggal dan tidak lengkap namun kemudian digeneralisir. Untunglah saya sudah keluar dari jebakan itu…. Saya pun bertekad, di tengah-tengah studi saya di Australia, saya harus mengenal lebih dalam tentang mereka: the Indigenous People of Australia.
Tulisan ini dipublikasikan di Kompasiana pada tanggal 25 Februari 2012
*) PhD Student Charles Darwin University, Australia